Medan | Faktual86.com : Masalah kronis di tubuh Perusahaan Terbatas Perkebunan (PTP/ PTPN) kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, suara keras datang dari Solon Sihombing, praktisi media, aktivis sosial, dan pemerhati hak asasi manusia yang juga putra dari almarhum Karel Sihombing, tokoh pejuang hak-hak pekerja dan pensiunan di PTP sejak era 1970-an.
Solon menegaskan, selama lebih dari lima dekade, para pekerja dan keluarga pensiunan PTP hidup dalam ketidakpastian — tanpa kepastian hak tanah, tempat tinggal, dan kejelasan upah yang adil, padahal mereka adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan pembangunan ekonomi perkebunan di Sumatera Utara dan Aceh.
“Masalah ini bukan baru kemarin. Almarhum ayah saya sudah memperjuangkannya sejak masa Presiden Soeharto, bahkan sempat bertemu langsung dengan tokoh-tokoh nasional seperti Baharuddin Lopa dan pejabat tinggi DPR RI,” ujar Solon Sihombing dalam keterangannya, Selasa (11/11/2025) di Medan.
“Namun hingga kini, hak-hak para pensiunan dan keluarganya belum juga dipulihkan. Padahal mereka mengabdi puluhan tahun menjaga aset negara,” lanjutnya.
70 Tahun Hidup di Tanah PTP: Dari Ladang Pengabdian Menjadi Lahan Sengketa
Solon mengisahkan, almarhum ayahnya, Karel Sihombing, hidup lebih dari 70 tahun di kawasan PTP-2, sebuah wilayah perkebunan negara yang kini banyak berubah menjadi kawasan perumahan dan proyek properti besar.
“Ayah saya lahir, bekerja, dan meninggal di tanah PTP. Ia bukan hanya buruh, tapi penjaga, pelindung, dan saksi hidup perjalanan BUMN ini,” ucap Solon.
“Kini, tanah yang dulu kami rawat justru diperebutkan. Sebagian dijual, sebagian diserobot, sebagian lagi dikuasai developer dengan restu oknum pejabat.”
Solon menilai, akar persoalan bukan sekadar soal status lahan, tetapi terletak pada praktik penyimpangan, kolusi, dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap BUMN sektor perkebunan.
“Ada dugaan kuat praktik mafia tanah yang bekerja sistematis di dalam tubuh PTP. Mereka menggunakan celah hukum untuk mengalihkan aset negara ke pihak swasta dengan modus kerja sama operasional (KSO) yang manipulatif,” tegasnya.
Harapan di Era Presiden Prabowo: “Kami Percaya Negara Akan Hadir”
Di tengah ketidakpastian nasib para keluarga pencindaan, Solon menyatakan harapan penuh kepada Presiden Prabowo Subianto, yang dinilainya memiliki tekad kuat untuk menegakkan keadilan sosial dan memberantas mafia tanah.
“Kami mendukung penuh kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto. Kami percaya beliau akan menuntaskan persoalan PTP yang sudah mengendap puluhan tahun. Ini bukan hanya soal aset, tapi soal harkat manusia yang telah mengabdi untuk bangsa,” ujar Solon.
“Kami meminta pemerintah membuka jalan bagi solusi win-win — adil bagi negara, manusiawi bagi rakyat.”
Solon juga mengingatkan agar Kementerian BUMN, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan aparat penegak hukum bertindak transparan, berani menindak siapa pun yang terbukti melakukan penyimpangan atau memperkaya diri dari tanah negara.
“Kami tidak ingin hanya ikan kecil yang ditangkap. Kalau ada direksi, pejabat BPN, atau pengusaha besar yang bermain di balik layar, mereka juga harus diusut,” tegasnya.
Kejati Sumut Bongkar Skandal Aset PTPN: Eks Direktur Ditahan.
Pernyataan Solon sejalan dengan langkah hukum yang kini sedang digencarkan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut).
Pada Jumat malam (7/11/2025), tim penyidik Kejati resmi menahan Irwan Peranginangin (IP), Direktur PTPN 2 periode 2020–2023, terkait dugaan penjualan ilegal aset negara milik PTPN 1 Regional 1.
Kepala Seksi Penyidikan Kejati Sumut, Arif Kadarman, menjelaskan bahwa penahanan dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup.
“Penyidik menahan tersangka IP atas dugaan tindak pidana korupsi pada proses penjualan aset PTPN 1 Regional 1 oleh PT Nusa Dua Propertindo (PT NDP) melalui kerja sama operasional dengan PT Ciputra Land,” ujar Arif Kadarman di Medan.
Menurut penyidik, tersangka IP menyertakan aset berupa lahan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT NDP tanpa izin Menteri Keuangan. Tak hanya itu, sejumlah pejabat lain juga disebut terlibat, termasuk:
Direktur PT NDP, Kepala Kantor BPN Wilayah Sumut periode 2022–2025, Kepala Kantor BPN Deli Serdang periode 2022–2025.
Mereka diduga menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT NDP tanpa memenuhi kewajiban kepada negara. Akibatnya, negara kehilangan sekitar 20 persen dari total luas HGU yang diubah menjadi HGB.
“Perbuatan ini menimbulkan kerugian besar bagi negara. Penyidik masih mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain,” tambah Arif.
Tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 jo Pasal 55 KUHP, dan kini ditahan di Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan selama 20 hari pertama.
Momentum Bersih-Bersih BUMN Perkebunan.
Bagi banyak kalangan, termasuk keluarga besar para pencindaan, kasus ini dianggap sebagai momentum pembenahan besar-besaran di tubuh PTPN dan BUMN sektor agraria. Selama ini, pengelolaan aset negara di perkebunan dinilai tertutup, rawan manipulasi, dan minim akuntabilitas.
“Kami berharap Kejati Sumut tidak berhenti di satu nama. Publik ingin melihat keberanian aparat dalam membongkar jaringan mafia tanah yang sudah lama bercokol,” ujar Solon menegaskan.
Solon juga mengingatkan, jika pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka penghormatan terhadap para pekerja dan keluarga pencindaan harus menjadi bagian dari reformasi BUMN ke depan.
“Mereka bukan beban, tapi pelaku sejarah. Mereka adalah saksi hidup yang menjaga aset negara saat negara belum semewah hari ini,” pungkasnya dengan nada haru.
Kasus PTPN bukan sekadar persoalan hukum atau ekonomi, melainkan uji moral dan integritas negara dalam menegakkan keadilan bagi rakyat kecil.
Pemerintah Presiden Prabowo kini dihadapkan pada tantangan: membersihkan BUMN dari praktik korup dan mafia tanah, sekaligus mengembalikan martabat pekerja perkebunan yang telah mengabdi seumur hidupnya untuk bangsa. (Red/tim)
